Kelompok Masyarakat Ini Dukung Revitalisasi Teluk Benoa


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kelompok Paiketan Pemangku Tirta Yatra Bhaga Pawana Santhi Bali menyatakan mendukung rencana revitalisasi Teluk Benoa.

"Kami dari Paiketan Pemangku Tirta Yatra Bhaga Pawana Santhi Bali mendukung secara penuh rencana Revitalisasi Teluk Benoa yang sejalan dengan Peraturan Presiden Nomor 51/2014," tulis Ketua Paiketan Pemangku, Gusti Mangku Ngurah Mendra dalam siaran pers, Selasa (20/1).

Paiketan Pemangku merupakan kelompok yang anggotanya terdiri dari para pemangku pemangku yang ada di pulau Bali. Kelompok itu bertujuan menciptkana kedamaian dan kesejahteraan untuk masyarakat Bali.

Berikut adalah pernyataan dukungan tersebut.

Adanya polemik berkepanjangan mengenai revitalisasi teluk Benoa, kami dari Paiketan Pemangku menyatakan hal hal sbb:

1. Perbedaan pendapat adalah suatu hal yang biasa, tetapi di dalam menyikapi suatu permasalahan haruslah di kedepankan sifat Sattwam ( arif dan bijaksana/ kesucian ) serta niat yang Las Carya ( tulus dan iklas )sehingga menghasilkan suatu solusi yang terbaik bagi semuanya, jangan lah didominasi oleh sifat sifat rajas(nafsu ) dan tamas ( malas ) .

2. Hubungan serta hak dan kewajiban antar pemerintah dengan rakyat nya, sejatinya telah diatur juga di dalam kitab suci Weda. Seperti di dalam sastra suci Atharwa Weda XIII.1.34, Kewajiban dari Pemerintah (pemimpin) disebutkan Prajam ca roha – Amrtam ca roha, yang artinya Wahai Pemimpin buatlah rakyat menjadi makmur, bahagia dan abadi, itulah hak bagi rakyat dan di dalam Reg Weda VIII.25.16 disebutkan Tasya Wratani Anuwas Caramasi yang artinya Kami mematuhi perintah perintah dari para Pemimpin. Itulah kewajiban bagi rakyat dan merupakan hak dari pemimpin.

3. Pulau Bali dengan masyarakatnya terkenal dengan keindahan alamnya dan budaya Bali yang luhur sehingga banyak orang orang dari dalam negeri atau dari luar negeri yang berkunjung ke pulau Bali, sehingga sector Pariwisata menjadi andalan perekonomian masyarakat Bali. Jadi secara real kesejahteraan masyarakat Bali bisa meningkat jika sector Pariwisata di Bali juga meningkat.
Oleh karena itu lah kelompok Paiketan Pemangku Tirta Yatra Bhaga Pawana Santhi Bali yang anggotanya terdiri dari para pemangku pemangku yang ada di pulau Bali mengharapkan kedamaian dan kesejahteraan masyarakat Bali dikarenakan dengan kedamaian dan kesejahteraan akan dapat mendukung pelaksanaan ajaran agama Hindu secara lebih mendalam lagi.

Maka kami dari Paiketan Pemangku Tirta Yatra Bhaga Pawana Santhi mendukung secara penuh rencana Revitalisasi Teluk Benoa yang sejalan dengan Peraturan Presiden No 51 Tahun 2014.

Paiketan Pemangku Dukung Revitalisasi Teluk Benoa


Kabar24.com, JAKARTA - Dukungan terhadap revitalisasi Teluk Benoa terus mengalir dari berbagai kelompok dan kalangan di Bali. Kali ini dukungan sepenuhnya Revitalisasi Teluk Benoa datang dari kelompok Paiketan Pemangku Tirta Yatra Bhaga Pawana Santhi Bali yang tengah berkumpul di Jembrana ,Bali, Senin, (19/1) dalam rangka perayaan hari raya Ciwa Ratri.

"Kami dari Paiketan Pemangku Tirta Yatra Bhaga Pawana Santhi Bali mendukung secara penuh rencana Revitalisasi Teluk Benoa yang sejalan dengan Peraturan Presiden No.51/2014," demikian pernyataan dukungan yang ditandatangani oleh Ketua Paiketan Pemangku, Gusti Mangku Ngurah Mendra, di Bali, seperti siaran pers yang diterima Bisnis, Senin, (19/1).

Paiketan Pemangku merupakan kelompok yang anggotanya terdiri dari para pemangku pemangku yang ada di pulau Bali. Kelompok ini mengharapkan kedamaian dan kesejahteraan masyarakat Bali dikarenakan dengan kedamaian dan kesejahteraan akan dapat mendukung pelaksanaan ajaran agama Hindu secara lebih mendalam lagi.

Berikut adalah pernyataan dukungan tersebut.

Adanya polemik berkepanjangan mengenai revitalisasi teluk Benoa, kami dari Paiketan Pemangku menyatakan hal hal sbb :

1. Perbedaan pendapat adalah suatu hal yang biasa, tetapi di dalam menyikapi suatu permasalahan haruslah di kedepankan sifat Sattwam ( arif dan bijaksana/ kesucian ) serta niat yang Las Carya ( tulus dan iklas )sehingga menghasilkan suatu solusi yang terbaik bagi semuanya, jangan lah didominasi oleh sifat sifat rajas(nafsu ) dan tamas ( malas ) .

2. Hubungan serta hak dan kewajiban antar pemerintah dengan rakyat nya, sejatinya telah diatur juga di dalam kitab suci Weda. Seperti di dalam sastra suci Atharwa Weda XIII.1.34, Kewajiban dari Pemerintah (pemimpin) disebutkan Prajam ca roha – Amrtam ca roha, yang artinya Wahai Pemimpin buatlah rakyat menjadi makmur, bahagia dan abadi, itulah hak bagi rakyat dan di dalam Reg Weda VIII.25.16 disebutkan Tasya Wratani Anuwas Caramasi yang artinya Kami mematuhi perintah perintah dari para Pemimpin. Itulah kewajiban bagi rakyat dan merupakan hak dari pemimpin.

3. Pulau Bali dengan masyarakatnya terkenal dengan keindahan alamnya dan budaya Bali yang luhur sehingga banyak orang orang dari dalam negeri atau dari luar negeri yang berkunjung ke pulau Bali, sehingga sector Pariwisata menjadi andalan perekonomian masyarakat Bali. Jadi secara real kesejahteraan masyarakat Bali bisa meningkat jika sector Pariwisata di Bali juga meningkat.

Oleh karena itu lah kelompok Paiketan Pemangku Tirta Yatra Bhaga Pawana Santhi Bali yang anggotanya terdiri dari para pemangku pemangku yang ada di pulau Bali mengharapkan kedamaian dan kesejahteraan masyarakat Bali dikarenakan dengan kedamaian dan kesejahteraan akan dapat mendukung pelaksanaan ajaran agama Hindu secara lebih mendalam lagi.

Maka kami dari Paiketan Pemangku Tirta Yatra Bhaga Pawana Santhi mendukung secara penuh rencana Revitalisasi Teluk Benoa yang sejalan dengan Peraturan Presiden no 51 tahun 2014.

sumber: http://kabar24.bisnis.com/read/20150119/78/392707/paiketan-pemangku-dukung-revitalisasi-teluk-benoa

Penolakan Reklamasi Teluk Benoa: Motif Persaingan Bisnis



Di tengah upaya revitalisasi Teluk Benoa, ada beberapa paradoks yang muncul ke permukaan. Paradoks ini berkisar pada adanya beberapa kelompok sentimentil yang cukup ambisius menolak revitalisasi Teluk Benoa. Penolakannya berkisar pada kehawatiran berlebih terhadap adanya pergeseran kebudayaan Bali yang dinilai genuine. Bahkan tidak hanya itu bagi beberapa kelompok tertentu, revitalisasi Teluk benoa akan menjadi ancaman bagi wisata tirta. Dua term ini, tentu merupakan dua kegelisahan yang tak berdasar. Sebab fungsi revitalisasi justru akan menempatkan kebudayaan Bali dan pemfungsian wisata tirta kepada ruang semestinya. Akan ada revitalisasi untuk mengangkat kebudayaan sebagai kebanggaan pulau dewata.

Sepintas dianalisis, dua kegelisahan di atas bukanlah pernyataan tulus. Sebab ini terjadi di saat pemerintah telah berhasil menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 51/2014 yang memuat diperbolehkannya pembangunan revitalisasi Teluk Benoa. Sebelumnya, kelompok-kelompok yang menolak nyaris diam. Tidak terlalu getol melakukan kritik, tetapi kini semuanya menjadi lantang menyuarakan penolakan. Ibarat ikan dikasih umpan, begitu agresif bahkan ovensif.

Pada kegelisahan yang lain, penolakan tersebut justru begitu hangat ketika menyangkut Teluk Benoa, di luar konteks itu, seperti problem reaklamasi dan destinasi di berbagai sisi pulau Dewata yang lain, -seperti hotel dan pembangunan di perlbagai tempat- dari dulu belum ada penolakan keras dan resisten. Padahal pertumbuhan hotel dan raklamasi sebelum iktikad revitalisasi Teluk Benoa di berbagai wilayah juga cukup besar. Di sini garis ideologis kelompok-kelompok yang menolak benar-benar menyisakan tanda tanya. Mereka begitu getol pada revitalisasi, tetapi bungkam seribu bahasa pada reklamasi di lain tempat.

Seorang budayawan Bali, I Gusti Ngurah Bagus Muditha (2015) mengatakan bahwa penolakan terhadap upaya revitalisasi Teluk Benoa lebih condong pada kepentingan personal, bukan kepentingan komunal (republika/16/1lihat : http://m.republika.co.id/berita/nasional/daerah/15/01/15/ni757i-budayawan-bali-sebut-penolakan-revitalisasi-teluk-benoa-karena-persaingan-bisnis). Kepentingan personal tersebut kemudian dikonversi menjadi gerakan pragmatis, maka pada saat itulah revitalisasi Teluk Benoa menjadi sasaran kepentingan partikular segelintir orang. Sehingga pertaruhannya bukan lagi persoalan kegelisaan pergeseran budaya dan sejenisnya, tetapi lebih pada pertautan dan persaingan bisnis baik pada skala global (baca: bisnis asing) maupun lokal. Di tingkat lokal, para pemilik hotel dan restauran akan gelisah dan kebakaran jenggot ketika revitalisasi Teluk Benoa menjadi destinasi wisata yang berskala internasional.

Pada konteks yang lain, pernyataan I Gusti Ngrah bagus Muditha tersebut dapat ditafsirkan dengan beberapa konteks. Pertama, bahwa arus kepentingan personal yang besar hanya bertumpu pada logika bisnis an sich, kelompok ini tidak berpikir jauh ke depan untuk mengakomudasi persoalan pelik ekologis di Teluk Benoa. Padahal hari ini, Teluk Benoa mengalami pendangkalan akibat sedimentasi dan abrasi yang berpotensi merusak hutan mangrove. Cara berpikir yang berorientasi bisnis merupakan pengingkaran bagi upaya untuk membangun keseimbangan ekologis di Teluk Benoa.

Kedua, kepentingan-kepentingan personal di balik penolakan Teluk Benoa begitu tampak problematis. Kelompok-kelompok yang menolak tidak memiliki data yang komprehensif perihal beberapa persoalan yang mereka suarakan. Padahal dari laus peraian Teluk Benoa yang seluas 1400 hektare, area yang akan direvitalisasi untuk pertumbuhan ekonomi seluas 700 hektare (50 persen), dan hanya 400 hektare (28,5 persen) yang akan dikembangkan sebagai pusat-pusat wisata yang baru. Sisanya 300 hektare beserta perairan Teluk Benoa akan dedikasikan untuk ruang terbuka hijau dan fasilitas sosial serta fasilitas umum.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/vritaamerta/penolakan-reklamasi-teluk-benoa-motif-persaingan-bisnis_54f36e607455137f2b6c75bc
Di tengah upaya revitalisasi Teluk Benoa, ada beberapa paradoks yang muncul ke permukaan. Paradoks ini berkisar pada adanya beberapa kelompok sentimentil yang cukup ambisius menolak revitalisasi Teluk Benoa. Penolakannya berkisar pada kehawatiran berlebih terhadap adanya pergeseran kebudayaan Bali yang dinilai genuine. Bahkan tidak hanya itu bagi beberapa kelompok tertentu, revitalisasi Teluk benoa akan menjadi ancaman bagi wisata tirta. Dua term ini, tentu merupakan dua kegelisahan yang tak berdasar. Sebab fungsi revitalisasi justru akan menempatkan kebudayaan Bali dan pemfungsian wisata tirta kepada ruang semestinya. Akan ada revitalisasi untuk mengangkat kebudayaan sebagai kebanggaan pulau dewata. Sepintas dianalisis, dua kegelisahan di atas bukanlah pernyataan tulus. Sebab ini terjadi di saat pemerintah telah berhasil menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 51/2014 yang memuat diperbolehkannya pembangunan revitalisasi Teluk Benoa. Sebelumnya, kelompok-kelompok yang menolak nyaris diam. Tidak terlalu getol melakukan kritik, tetapi kini semuanya menjadi lantang menyuarakan penolakan. Ibarat ikan dikasih umpan, begitu agresif bahkan ovensif. Pada kegelisahan yang lain, penolakan tersebut justru begitu hangat ketika menyangkut Teluk Benoa, di luar konteks itu, seperti problem reaklamasi dan destinasi di berbagai sisi pulau Dewata yang lain, -seperti hotel dan pembangunan di perlbagai tempat- dari dulu belum ada penolakan keras dan resisten. Padahal pertumbuhan hotel dan raklamasi sebelum iktikad revitalisasi Teluk Benoa di berbagai wilayah juga cukup besar. Di sini garis ideologis kelompok-kelompok yang menolak benar-benar menyisakan tanda tanya. Mereka begitu getol pada revitalisasi, tetapi bungkam seribu bahasa pada reklamasi di lain tempat. Seorang budayawan Bali, I Gusti Ngurah Bagus Muditha (2015) mengatakan bahwa penolakan terhadap upaya revitalisasi Teluk Benoa lebih condong pada kepentingan personal, bukan kepentingan komunal (republika/16/1lihat : http://m.republika.co.id/berita/nasional/daerah/15/01/15/ni757i-budayawan-bali-sebut-penolakan-revitalisasi-teluk-benoa-karena-persaingan-bisnis). Kepentingan personal tersebut kemudian dikonversi menjadi gerakan pragmatis, maka pada saat itulah revitalisasi Teluk Benoa menjadi sasaran kepentingan partikular segelintir orang. Sehingga pertaruhannya bukan lagi persoalan kegelisaan pergeseran budaya dan sejenisnya, tetapi lebih pada pertautan dan persaingan bisnis baik pada skala global (baca: bisnis asing) maupun lokal. Di tingkat lokal, para pemilik hotel dan restauran akan gelisah dan kebakaran jenggot ketika revitalisasi Teluk Benoa menjadi destinasi wisata yang berskala internasional. Pada konteks yang lain, pernyataan I Gusti Ngrah bagus Muditha tersebut dapat ditafsirkan dengan beberapa konteks. Pertama, bahwa arus kepentingan personal yang besar hanya bertumpu pada logika bisnis an sich, kelompok ini tidak berpikir jauh ke depan untuk mengakomudasi persoalan pelik ekologis di Teluk Benoa. Padahal hari ini, Teluk Benoa mengalami pendangkalan akibat sedimentasi dan abrasi yang berpotensi merusak hutan mangrove. Cara berpikir yang berorientasi bisnis merupakan pengingkaran bagi upaya untuk membangun keseimbangan ekologis di Teluk Benoa. Kedua, kepentingan-kepentingan personal di balik penolakan Teluk Benoa begitu tampak problematis. Kelompok-kelompok yang menolak tidak memiliki data yang komprehensif perihal beberapa persoalan yang mereka suarakan. Padahal dari laus peraian Teluk Benoa yang seluas 1400 hektare, area yang akan direvitalisasi untuk pertumbuhan ekonomi seluas 700 hektare (50 persen), dan hanya 400 hektare (28,5 persen) yang akan dikembangkan sebagai pusat-pusat wisata yang baru. Sisanya 300 hektare beserta perairan Teluk Benoa akan dedikasikan untuk ruang terbuka hijau dan fasilitas sosial serta fasilitas umum.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/vritaamerta/penolakan-reklamasi-teluk-benoa-motif-persaingan-bisnis_54f36e607455137f2b6c75bc
Di tengah upaya revitalisasi Teluk Benoa, ada beberapa paradoks yang muncul ke permukaan. Paradoks ini berkisar pada adanya beberapa kelompok sentimentil yang cukup ambisius menolak revitalisasi Teluk Benoa. Penolakannya berkisar pada kehawatiran berlebih terhadap adanya pergeseran kebudayaan Bali yang dinilai genuine. Bahkan tidak hanya itu bagi beberapa kelompok tertentu, revitalisasi Teluk benoa akan menjadi ancaman bagi wisata tirta. Dua term ini, tentu merupakan dua kegelisahan yang tak berdasar. Sebab fungsi revitalisasi justru akan menempatkan kebudayaan Bali dan pemfungsian wisata tirta kepada ruang semestinya. Akan ada revitalisasi untuk mengangkat kebudayaan sebagai kebanggaan pulau dewata. Sepintas dianalisis, dua kegelisahan di atas bukanlah pernyataan tulus. Sebab ini terjadi di saat pemerintah telah berhasil menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 51/2014 yang memuat diperbolehkannya pembangunan revitalisasi Teluk Benoa. Sebelumnya, kelompok-kelompok yang menolak nyaris diam. Tidak terlalu getol melakukan kritik, tetapi kini semuanya menjadi lantang menyuarakan penolakan. Ibarat ikan dikasih umpan, begitu agresif bahkan ovensif. Pada kegelisahan yang lain, penolakan tersebut justru begitu hangat ketika menyangkut Teluk Benoa, di luar konteks itu, seperti problem reaklamasi dan destinasi di berbagai sisi pulau Dewata yang lain, -seperti hotel dan pembangunan di perlbagai tempat- dari dulu belum ada penolakan keras dan resisten. Padahal pertumbuhan hotel dan raklamasi sebelum iktikad revitalisasi Teluk Benoa di berbagai wilayah juga cukup besar. Di sini garis ideologis kelompok-kelompok yang menolak benar-benar menyisakan tanda tanya. Mereka begitu getol pada revitalisasi, tetapi bungkam seribu bahasa pada reklamasi di lain tempat. Seorang budayawan Bali, I Gusti Ngurah Bagus Muditha (2015) mengatakan bahwa penolakan terhadap upaya revitalisasi Teluk Benoa lebih condong pada kepentingan personal, bukan kepentingan komunal (republika/16/1lihat : http://m.republika.co.id/berita/nasional/daerah/15/01/15/ni757i-budayawan-bali-sebut-penolakan-revitalisasi-teluk-benoa-karena-persaingan-bisnis). Kepentingan personal tersebut kemudian dikonversi menjadi gerakan pragmatis, maka pada saat itulah revitalisasi Teluk Benoa menjadi sasaran kepentingan partikular segelintir orang. Sehingga pertaruhannya bukan lagi persoalan kegelisaan pergeseran budaya dan sejenisnya, tetapi lebih pada pertautan dan persaingan bisnis baik pada skala global (baca: bisnis asing) maupun lokal. Di tingkat lokal, para pemilik hotel dan restauran akan gelisah dan kebakaran jenggot ketika revitalisasi Teluk Benoa menjadi destinasi wisata yang berskala internasional. Pada konteks yang lain, pernyataan I Gusti Ngrah bagus Muditha tersebut dapat ditafsirkan dengan beberapa konteks. Pertama, bahwa arus kepentingan personal yang besar hanya bertumpu pada logika bisnis an sich, kelompok ini tidak berpikir jauh ke depan untuk mengakomudasi persoalan pelik ekologis di Teluk Benoa. Padahal hari ini, Teluk Benoa mengalami pendangkalan akibat sedimentasi dan abrasi yang berpotensi merusak hutan mangrove. Cara berpikir yang berorientasi bisnis merupakan pengingkaran bagi upaya untuk membangun keseimbangan ekologis di Teluk Benoa. Kedua, kepentingan-kepentingan personal di balik penolakan Teluk Benoa begitu tampak problematis. Kelompok-kelompok yang menolak tidak memiliki data yang komprehensif perihal beberapa persoalan yang mereka suarakan. Padahal dari laus peraian Teluk Benoa yang seluas 1400 hektare, area yang akan direvitalisasi untuk pertumbuhan ekonomi seluas 700 hektare (50 persen), dan hanya 400 hektare (28,5 persen) yang akan dikembangkan sebagai pusat-pusat wisata yang baru. Sisanya 300 hektare beserta perairan Teluk Benoa akan dedikasikan untuk ruang terbuka hijau dan fasilitas sosial serta fasilitas umum.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/vritaamerta/penolakan-reklamasi-teluk-benoa-motif-persaingan-bisnis_54f36e607455137f2b6c75bc
Di tengah upaya revitalisasi Teluk Benoa, ada beberapa paradoks yang muncul ke permukaan. Paradoks ini berkisar pada adanya beberapa kelompok sentimentil yang cukup ambisius menolak revitalisasi Teluk Benoa. Penolakannya berkisar pada kehawatiran berlebih terhadap adanya pergeseran kebudayaan Bali yang dinilai genuine. Bahkan tidak hanya itu bagi beberapa kelompok tertentu, revitalisasi Teluk benoa akan menjadi ancaman bagi wisata tirta. Dua term ini, tentu merupakan dua kegelisahan yang tak berdasar. Sebab fungsi revitalisasi justru akan menempatkan kebudayaan Bali dan pemfungsian wisata tirta kepada ruang semestinya. Akan ada revitalisasi untuk mengangkat kebudayaan sebagai kebanggaan pulau dewata. Sepintas dianalisis, dua kegelisahan di atas bukanlah pernyataan tulus. Sebab ini terjadi di saat pemerintah telah berhasil menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 51/2014 yang memuat diperbolehkannya pembangunan revitalisasi Teluk Benoa. Sebelumnya, kelompok-kelompok yang menolak nyaris diam. Tidak terlalu getol melakukan kritik, tetapi kini semuanya menjadi lantang menyuarakan penolakan. Ibarat ikan dikasih umpan, begitu agresif bahkan ovensif. Pada kegelisahan yang lain, penolakan tersebut justru begitu hangat ketika menyangkut Teluk Benoa, di luar konteks itu, seperti problem reaklamasi dan destinasi di berbagai sisi pulau Dewata yang lain, -seperti hotel dan pembangunan di perlbagai tempat- dari dulu belum ada penolakan keras dan resisten. Padahal pertumbuhan hotel dan raklamasi sebelum iktikad revitalisasi Teluk Benoa di berbagai wilayah juga cukup besar. Di sini garis ideologis kelompok-kelompok yang menolak benar-benar menyisakan tanda tanya. Mereka begitu getol pada revitalisasi, tetapi bungkam seribu bahasa pada reklamasi di lain tempat. Seorang budayawan Bali, I Gusti Ngurah Bagus Muditha (2015) mengatakan bahwa penolakan terhadap upaya revitalisasi Teluk Benoa lebih condong pada kepentingan personal, bukan kepentingan komunal (republika/16/1lihat : http://m.republika.co.id/berita/nasional/daerah/15/01/15/ni757i-budayawan-bali-sebut-penolakan-revitalisasi-teluk-benoa-karena-persaingan-bisnis). Kepentingan personal tersebut kemudian dikonversi menjadi gerakan pragmatis, maka pada saat itulah revitalisasi Teluk Benoa menjadi sasaran kepentingan partikular segelintir orang. Sehingga pertaruhannya bukan lagi persoalan kegelisaan pergeseran budaya dan sejenisnya, tetapi lebih pada pertautan dan persaingan bisnis baik pada skala global (baca: bisnis asing) maupun lokal. Di tingkat lokal, para pemilik hotel dan restauran akan gelisah dan kebakaran jenggot ketika revitalisasi Teluk Benoa menjadi destinasi wisata yang berskala internasional. Pada konteks yang lain, pernyataan I Gusti Ngrah bagus Muditha tersebut dapat ditafsirkan dengan beberapa konteks. Pertama, bahwa arus kepentingan personal yang besar hanya bertumpu pada logika bisnis an sich, kelompok ini tidak berpikir jauh ke depan untuk mengakomudasi persoalan pelik ekologis di Teluk Benoa. Padahal hari ini, Teluk Benoa mengalami pendangkalan akibat sedimentasi dan abrasi yang berpotensi merusak hutan mangrove. Cara berpikir yang berorientasi bisnis merupakan pengingkaran bagi upaya untuk membangun keseimbangan ekologis di Teluk Benoa. Kedua, kepentingan-kepentingan personal di balik penolakan Teluk Benoa begitu tampak problematis. Kelompok-kelompok yang menolak tidak memiliki data yang komprehensif perihal beberapa persoalan yang mereka suarakan. Padahal dari laus peraian Teluk Benoa yang seluas 1400 hektare, area yang akan direvitalisasi untuk pertumbuhan ekonomi seluas 700 hektare (50 persen), dan hanya 400 hektare (28,5 persen) yang akan dikembangkan sebagai pusat-pusat wisata yang baru. Sisanya 300 hektare beserta perairan Teluk Benoa akan dedikasikan untuk ruang terbuka hijau dan fasilitas sosial serta fasilitas umum.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/vritaamerta/penolakan-reklamasi-teluk-benoa-motif-persaingan-bisnis_54f36e607455137f2b6c75bc
Di tengah upaya revitalisasi Teluk Benoa, ada beberapa paradoks yang muncul ke permukaan. Paradoks ini berkisar pada adanya beberapa kelompok sentimentil yang cukup ambisius menolak revitalisasi Teluk Benoa. Penolakannya berkisar pada kehawatiran berlebih terhadap adanya pergeseran kebudayaan Bali yang dinilai genuine. Bahkan tidak hanya itu bagi beberapa kelompok tertentu, revitalisasi Teluk benoa akan menjadi ancaman bagi wisata tirta. Dua term ini, tentu merupakan dua kegelisahan yang tak berdasar. Sebab fungsi revitalisasi justru akan menempatkan kebudayaan Bali dan pemfungsian wisata tirta kepada ruang semestinya. Akan ada revitalisasi untuk mengangkat kebudayaan sebagai kebanggaan pulau dewata. Sepintas dianalisis, dua kegelisahan di atas bukanlah pernyataan tulus. Sebab ini terjadi di saat pemerintah telah berhasil menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 51/2014 yang memuat diperbolehkannya pembangunan revitalisasi Teluk Benoa. Sebelumnya, kelompok-kelompok yang menolak nyaris diam. Tidak terlalu getol melakukan kritik, tetapi kini semuanya menjadi lantang menyuarakan penolakan. Ibarat ikan dikasih umpan, begitu agresif bahkan ovensif. Pada kegelisahan yang lain, penolakan tersebut justru begitu hangat ketika menyangkut Teluk Benoa, di luar konteks itu, seperti problem reaklamasi dan destinasi di berbagai sisi pulau Dewata yang lain, -seperti hotel dan pembangunan di perlbagai tempat- dari dulu belum ada penolakan keras dan resisten. Padahal pertumbuhan hotel dan raklamasi sebelum iktikad revitalisasi Teluk Benoa di berbagai wilayah juga cukup besar. Di sini garis ideologis kelompok-kelompok yang menolak benar-benar menyisakan tanda tanya. Mereka begitu getol pada revitalisasi, tetapi bungkam seribu bahasa pada reklamasi di lain tempat. Seorang budayawan Bali, I Gusti Ngurah Bagus Muditha (2015) mengatakan bahwa penolakan terhadap upaya revitalisasi Teluk Benoa lebih condong pada kepentingan personal, bukan kepentingan komunal (republika/16/1lihat : http://m.republika.co.id/berita/nasional/daerah/15/01/15/ni757i-budayawan-bali-sebut-penolakan-revitalisasi-teluk-benoa-karena-persaingan-bisnis). Kepentingan personal tersebut kemudian dikonversi menjadi gerakan pragmatis, maka pada saat itulah revitalisasi Teluk Benoa menjadi sasaran kepentingan partikular segelintir orang. Sehingga pertaruhannya bukan lagi persoalan kegelisaan pergeseran budaya dan sejenisnya, tetapi lebih pada pertautan dan persaingan bisnis baik pada skala global (baca: bisnis asing) maupun lokal. Di tingkat lokal, para pemilik hotel dan restauran akan gelisah dan kebakaran jenggot ketika revitalisasi Teluk Benoa menjadi destinasi wisata yang berskala internasional. Pada konteks yang lain, pernyataan I Gusti Ngrah bagus Muditha tersebut dapat ditafsirkan dengan beberapa konteks. Pertama, bahwa arus kepentingan personal yang besar hanya bertumpu pada logika bisnis an sich, kelompok ini tidak berpikir jauh ke depan untuk mengakomudasi persoalan pelik ekologis di Teluk Benoa. Padahal hari ini, Teluk Benoa mengalami pendangkalan akibat sedimentasi dan abrasi yang berpotensi merusak hutan mangrove. Cara berpikir yang berorientasi bisnis merupakan pengingkaran bagi upaya untuk membangun keseimbangan ekologis di Teluk Benoa. Kedua, kepentingan-kepentingan personal di balik penolakan Teluk Benoa begitu tampak problematis. Kelompok-kelompok yang menolak tidak memiliki data yang komprehensif perihal beberapa persoalan yang mereka suarakan. Padahal dari laus peraian Teluk Benoa yang seluas 1400 hektare, area yang akan direvitalisasi untuk pertumbuhan ekonomi seluas 700 hektare (50 persen), dan hanya 400 hektare (28,5 persen) yang akan dikembangkan sebagai pusat-pusat wisata yang baru. Sisanya 300 hektare beserta perairan Teluk Benoa akan dedikasikan untuk ruang terbuka hijau dan fasilitas sosial serta fasilitas umum.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/vritaamerta/penolakan-reklamasi-teluk-benoa-motif-persaingan-bisnis_54f36e607455137f2b6c75bc

Pecalang Bali Berharap Revitalisasi Teluk Benoa


JAKARTA - Kondisi Teluk Benoa menjadi perhatian para pecalang atau petugas keamanan tradisional Bali. Para pecalang meminta pemerintah pusat segera merevitalisasi teluk tersebut.

Salah satunya menerbitkan izin lingkungan sehingga revitalisasi bisa segera dilakukan.

"Saya survei ke masyarakat bawah, ternyata banyak yang dukung, hanya saja mereka tidak mau beri komentar. Mereka mendukung karena revitalisasi dinilai akan menyerap banyak tenaga kerja asal Bali. Makanya saya juga sangat mendukung sekali," kata Ketua Pecalang Dukuh Sakti Bali Jero Mangku Made Wibawa Sabtu 31 Januari 2015.

Dia mengatakan, revitalisasi Teluk Benoa merupakan program yang sangat bagus. Bukan hanya bagi masyarakat Bali saat ini, tapi juga generasi mendatang.

"Bukan hanya bagi kita sekarang ini manfaatnya, tapi juga anak cucu kita nanti. Selain penyerapan tenaga kerja, Bali juga dibikin menjadi semakin bagus," ucapnya.

Made Wibawa mengaku, anggotanya yang tersebar di semua kabupaten di Bali hingga sekarang turun langsung ke lapangan, menyosialisasikan rencana revitalisasi tersebut.

"Kami mohon dengan segera agar pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk segera merealisasikan revitalisasi. Sebab, kenyataanya kalau dipolling lebih banyak setuju," ucapnya.

Made Wibawa pun menegaskan pihaknya siap mendukung revitalisasi dengan segala konsekuensinya. "Kami juga siap mengamankan agar revitalisasi itu terealisasi. Kami sudah siap dengan segala konsekuensinya," ujarnya.

Kondisi Teluk Benoa saat ini memprihatinkan. Karena terjadi pendangkalan yang mengancam kehidupan hutan mangrove akibat sedimentasi.

Bahkan, Teluk Benoa dipenuhi sampah sisa pembangunan jalan tol, sampah rumah tangga, dan sampah industri.

Kondisi ini mendorong pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 51/2014 yang membolehkan dilakukan revitalisasi di Teluk Benoa.

Dari luas perairan Teluk Benoa yang seluas lebih kurang 1400 Ha, area yang akan direklamasi seluas 700 Ha (50%), dan hanya 400 Ha (28,5%) yang akan dikembangkan sebagai pusat-pusat wisata yang baru.

Sisanya seluas 300 Ha beserta Perairan Teluk Benoa akan didedikasikan untuk ruang terbuka hijau dan fasilitas sosial serta fasilitas umum (fasos fasum).

Tags: #RevitalisasiTelukBenoa, #ReklamasiTelukBenoa
Sumber: http://nasional.sindonews.com/read/958566/15/pecalang-bali-berharap-revitalisasi-teluk-benoa-1422779401

Suryo Prabowo: Pembiaran Teluk Benoa Merupakan Kejahatan


REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pertumbuhan penduduk yang sangat pesat dapat berdampak pada kelesterian alam. Alam cenderung diekspolitasi untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan penduduk tersebut. Tidak hanya hutan, laut juga menerima dampak kerusakan tersebut.

"Karena tekanan hidup, orang sudah tidak perduli pada kelestarian laut, seperti rusaknya teluk Benoa di Bali. Padahal saat ini, Indonesia punya keinginan kuat menjadi poros maritim dunia," kata Letjen TNI (Purn) Suryo Prabowo saat memberikan pembekalan pada peserta Ekspedisi NKRI 2015 koridor Bali dan Nusa Tenggara dalam rilis yang diterima Republika Senin (26/1).

Suryo memberi contoh kerusakan di kawasan teluk Benoa di Bali yang saat ini sangat memprihatinkan. "Terjadi pendangkakan laut karena sampah dan lumpur masif yang menumpuk. Akibatnya, sejumlah biota laut punah. Jika dibiarkan terus, ini kejahatan lingkungan," ujarnya.

Lebih lanjut Suryo menjelaskan, kerusakan alam seperti yang terjadi di teluk Benoa dapat diselesaikan dengan merevitalisasi kawasan tersebut. "Kondisinya sangat memprihatinkan. Oleh sebab itu harus di revitalisasi dan di sana-sini direklamasi agar dapat berfungsi kembali sebagai teluk yang memiliki berbagai fungsi dan nilai tambah (added value) bagi masyarakat di Bali," jelasnya.

Menurut Suryo yang juga inisiator Ekspedisi NKRI, kepedulian terhadap kelestarian alam yang dijadikan tujuan ekspedisi ini tidak bisa dilakukan hanya dengan orasi dan melakukan pembiaran terhadap terjadinya kerusakan alam. "Kerusakan teluk Benoa yang sedemikian parah itu tidak bisa diselesaikan dengan ekspedisi dan jargon 'peduli dan lestarikan alam', karena kepedulian tidak sama dengan pembiaran. Apalagi menghambat upaya dan niat baik pemerintah dan berbagai kalangan yang hendak me Revitalisasi Teluk Benoa dan memperbaiki kondisi alam disekitarnya," tegasnya.

Suryo juga merasa heran dengan adanya kontroversi revitalisasi teluk Benoa. "Bagaimana tidak heran, mulai dari Pemerintah Pusat, Pemda Bali, 5 universitas terbaik di Indonesia, dan banyak pakar lingkungan yang mendukung, tetapi revitalisasi teluk Benoa tapi masih belum dimulai hanya karena ditolak oleh segelintir orang secara emosional tanpa memberikan solusi," ungkapnya heran.

Suryo berharap hasil temuan dan penelitian ekspedisi kali ini tidak berhenti pada pembuatan buku laporan saja. Tetapi dapat memotivasi berbagai komponen bangsa dan instansi terkait agar lebih peduli dan melakukan tindakan nyata untuk memperbaiki alam yang telah rusak.

Ekspedisi NKRI 2015 ini adalah ekspedisi kelima yang dimotori oleh Kopassus TNI AD dan akan dilaksanakan di Bali, NTB dan NTT tanggal 8 Feb s.d 2 Juni 2015. Sebelumnya peserta yang terdiri dari unsur TNI dan Polri, Menwa, para Peneliti dan Mahasiswa mengikuti seleksi Tahap-III sekaligus mendapat pembekalan di Pusdik Kopassus, Batujajar tanggal 18 Januari hingga 1 Februari 2015.

Tags: #RevitalisasiTelukBenoa, #ReklamasiTelukBenoa
Sumber: http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/01/26/niryto-suryo-prabowo-pembiaran-teluk-benoa-merupakan-kejahatan